KAITAN PENGGUNAAN LAHAN PERKOTAAN DENGAN BANJIR

By taqy On Saturday, March 03 rd, 2012 · no Comments · In

KAITAN PENGGUNAAN LAHAN PERKOTAAN DENGAN BANJIR*)

(Studi kasus: di Provinsi DKI Jakarta tahun 1996, 2002, dan 2007)

Oleh:

Mangapul P.Tambunan

Departemen Geografi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

E-mail: mangapul.parlindungan@ui.ac.id

 

1. Abstrak

Tanah sebagai sumberdaya mempunyai ukuran luas dimana ukuran ini merupakan gambaran sosial dan ekonomi masyarakat dalam mengelolah dan menggunakan lahan di permukaan bumi. Secara alami kipas aluvial Jakarta berupa dataran rendah 0,5 m – 25 m dpl, di mana memiliki wilayah endapan dengan morfologi dataran banjirnya kurang lebih 40 persennya atau 24.000 Ha dataran rendah yang tingginya 1 hingga 1,5 meter di bawah muka laut pasang yang merupakan daerah sasaran banjirnya, selain itu daerah bebas banjir yang ada di Jakarta hanya 15% – 20% dari luas 65.000 Ha. Provinsi DKI Jakarta memiliki  keterbatasan ruang penggunaan lahan perkotaan bebas banjir di bentuklahan aluvial yang datar bagi masyarakatnya sebesar 8 juta jiwa penduduk malam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penggunaan lahan perkotaan di Propinsi DKI Jakarta pada periode banjir besar dalam perspektif geografi. Metode penelitian berupa overlay peta skala 1:25.000. Hasil penelitian membuktikan ternyata lebih dari 50% atau 25.000 Ha penggunaan lahan permukiman  terendam banjir di mana yang dominan terdapat pada wilayah kota administrasi Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan sebagian kecil di wilayah kota administrasi Jakarta Pusat. Ada kaitan yang significant (> 10%) perubahan penggunaan lahan berupa “parkir air” seperti situ dan rawa ke penggunaan lahan terbangun misal lahan permukiman di 5 kota administrasinya dengan persebaran wilayah banjirnya.

 

Kata kunci: sumberdaya lahan, karakteristik penggunaan lahan perkotaan, karakteristik wilayah banjir, wilayah  permukiman banjir, provinsi DKI Jakarta.

 

2. Pendahuluan

Banjir dan permasalahannya sangat terkait erat dengan sumberdaya tanah dimana tanah sebagai sumberdaya mempunyai makna satuan dan ukuran yang nyata dan konkrit di dalam hal ini dapat berupa kesuburan, volume (ton), dan luasan (hektar). Keberadaan luasan tanah sebagai sumberdaya di wilayah Jakarta mempunyai nilai luasan yang tetap (fixed land area value) yakni 650 km2, sedangkan jumlah penduduk yang mendiami dan menetap di wilayah ini  setiap tahunnya bertambah berdasarkan deret ukur, di mana pertambahan penduduk rata-rata 2,85 % per tahunnya (BPS, 2010).

 

 

*) Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional dan  Pertemuan Ilmiah Tahunan XIV Ikatan Geografi Indonesia, di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali 11 November 2011.

 

Perkembangan penggunaan lahan perkotaan di Provinsi DKI Jakarta yang selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir

Dalam Keputusan Presiden (KepPres) No.114 tahun 1999 dijelaskan bahwa  fungsi kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) merupakan kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya . Dimana penggunaan lahan di kawasan Bopunjur yang secara geografis merupakan daerah hulu, penyimpangan tersebut tercermin dari adanya pertambahan  daerah terbangun secara signifikan.

Adapun penyimpangan pemanfaatan lahan untuk kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebagai daerah hilir, antara lain ditunjukan dengan perubahan pemanfaatan menjadi daerah terbangun pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan tempat resapan/penyimpanan/ penampungan air. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan lahan, baik pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur, tentunya tidak terlepas dari adanya tuntutan kepentingan sektor ekonomi yang mengabaikan faktor lingkungan. Selain itu, masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan budaya masyarakat yang memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan (limbah dan sampah) juga menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan  banjir.

Pertumbuhan wilayah kota Jakarta sangat pesat yang kurang sesuai dengan perencanaan semula dimana diarahkan perkembangan ke arah Timur-Barat, perkembangan mengarah ke selatan. Perkembangan ke arah Selatan akan merubah rasio antara daerah konservasi dan daerah perkotaan yang kedap air di hulu daerah tangkapan air sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Perbangunan ini akan secara langsung menciptakan aliran banjir lebih tinggi yang akan menimbulkan permasalahan banjir pada kota Jakarta.

Akibat pertambahan luas dan persebaran penggunaan lahan terbangun yang kedap air misal permukiman dan fasilitasnya, pada saat hujan intensitas lebat, maka air hujan sebagai air limpasan permukaan tidak dapat masuk (perkolasi) ke dalam tanah karena tanah telah diperkeras oleh semen dan aspal di bentuklahan aluvial. Sehingga air sungai meluap melewati tanggulnya dan mengalir ke bagian topografi rendah dan datar di dataran banjir, rawabelakang, dan dataran aluvial sebagai bentuklahan banjir. Permukiman masyarakat yang menetap pada permukiman kumuh, dan gubuk-gubuk liar pada di sepanjang dataran banjir di 14 aliran sungai. Daratan sungai sebagai dataran banjir untuk bangunan rumah yang mengurangi daerah resapan air dan penahan air, dan penyempitan bantaran sungai. Keberadaan bangunan rumah dan fasilitasnya bila hujan besar bisa menyebabkan aliran airnya pada permukaan tanah terhambat ke saluran air, dan meluap sungai yang bisa menjadi  banjir lebih meluas dan lama di Provinsi DKI Jakarta.

 

3. Hasil dan Pembahasan

Provinsi DKI Jakarta 65.363,46 Ha dengan penggunaan lahan berupa lahan terbangun, lahan basah, dan lahan pertanian yang beragam keruangan dan temporal baik jenis, luasan dan penyebarannya (Gambar 1) adalah sebagai berikut:

 

Pada tahun 1996, penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta yang dominan  berupa lahan terbangun 42.108,09 Ha ( 64,5%)  dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 34.521 Ha atau 82% dari total luasan lahan terbangunnya. Kemudian penggunaan lahan pertanian 18.535,73 Ha atau 28,4% dan  terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 4.679,27 Ha atau 7,2% dari total luasan provinsinya.

Pada tahun 2002, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996. Penggunaan lahan. yang dominan berupa lahan terbangun 44.160,98 Ha ( 67,6%)  dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 40.063 Ha atau 90,7% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh penggunaan lahan pertanian 15.246,81 Ha (23,3%) dan terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 5.915,21 Ha atau 9,1% dari total luasan provinsinya.

Pada tahun 2007, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996 dan 2002. Penggunaan lahan. yang dominan berupa lahan terbangun 49.647,77Ha ( 76%)  dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 41.695 Ha atau 84% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh penggunaan lahan pertanian 14.645,99 Ha (22,4%) dan terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 1.029,25 Ha atau 1,58% dari total luasan provinsinya.

Dalam periode lima tahun pertama (1996-2002) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan terbangun seluas 2.052,89 Ha, lahan permukiman 5.542 Ha, dan lahan basah 1.235,94 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 3.288,92 Ha menjadi lahan terbangun dan lahan basah sebagai parkir air pada saat hujan.

Periode lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari periode pertama, dan lahan permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 600,82 Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi lahan terbangun penyebab banjir. Satu dasawarsa terakhir (1996-2007) di Provinsi DKI Jakarta mengalami dinamika perubahan penggunaan lahan secara kuantitas, yaitu perubaha positif terjadi pada penggunaan lahan terbangun seluas 7539,68 Ha atau 11,5% dari luas provinsi. Dimana rata-rata penambahan luasan lahan terbangun  mencapai 750 hektar per tahunnya, dominan berupa lahan permukiman seluas 7.174 Ha. Sedangkan penggunaan lahan pertanian dan lahan basah kecenderungan mengalami penurunan sebesar 3500 hektar atau 350 hektar setiap tahunnya yang digunakan sebagai lahan terbangun, seperti lahan permukiman (Gambar 2).

 

Gambar 2.  Grafik Penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta pada periode banjir besar

Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta, 2009).

 

Ada kesamaan persebaran pola  penggunaan lahan pertanian atas dasar rata-rata luasan. Dimana lahan pertanian terluas di Jakarta Utara mencapai 5330,6 Ha, kemudian diikuti oleh Jakarta Timur 4565,3 Ha, Jakarta Barat 2869,9 Ha, Jakarta Selatan 2509.467 Ha, dan luasan tersempit di Jakarta Pusat 867,6 Ha selama 10 tahun terakhir.. Terjadi penurunan luasan penggunaan lahan pertaniannya dalam 10 tahun terakhir, yaitu Jakarta Utara 997,9 Ha, Jakarta Barat 868,5 Ha, Jakarta Timur 811,5 Ha, dan Jakarta Pusat 501,8 Ha (Gambar 3).

 

Gambar 3. Grafik Penggunaan Lahan Pertanian di Provinsi DKI Jakarta, periode banjir besar

Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta, 2009).

 

Penggunaan lahan pertanian pada masing-masing kelurahan mencapai rasio 50, artinya dalam 1 hektar luasan kelurahan terdapat 0,5 hektar penggunaan lahan pertaniannya. Adapun kelurahan yang memiliki rasio 50 penggunaan lahan pertanian  pada tahun 1996 terdapat Kedaung Kaliangke, Kamal, Gambir, Gunung Sahari Selatan, Gelora, Karet Tengsin, Cipedak, Halim Perdana Kusuma, Pinang Ranti, Rorotan, Koja, Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Papanggo, dan Tanjungpriok. Pada tahun 2002, di Kelurahan Kamal, dan Gelora. Sedangkan tahun 2007 terdapat di Gelora, Halim Perdana Kusuma, Semper Timur, Kelapa Gading Barat, Kamal Muara, dan Kapuk Muara. Proporsi  penggunaan lahan  DKI  Jakarta yang berupa lahan pertanian  pada tahun 1996 adalah 22,10%  kemudian menurun 18,92% (2002), dan berkurang lagi 18,31% (2007) dari seluruh luasan provinsinya.

Penggunaan lahan basah di DKI Jakarta 4679,27 Ha atau 7,16% (1996), 3785,43 Ha atau 5,8% (2002), dan 1029,73 Ha atau 1,58% dari luasan provinsinya yang tersebar di lima kota administratif. Persebaran penggunaan lahan basah dalam 10 tahun terakhir memiliki keragaman ruang dalam ukuran luasan dan urutannya. Dimana keberadaan lahan basah terluas terdapat  Jakarta Timur 1520,54 Ha atau 8,06% (1996), di Jakarta Utara 1533,06 Ha atau 10,97% (2002) dan 513,62 Ha atau 3,67%. Selanjutnya lahan basah di Jakarta Utara seluas 1089,11 Ha atau 7,79% (1996) dan 513,62 Ha atau 3,67% (2007), Kemudian, di Jakarta Selatan 977,21 Ha atau 6,74% (1996), 107,1 Ha atau 0,74% (2002) dan 134,23 Ha atau 0,93% (2007). Terakhir, pada lahan basah yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 168,28 Ha atau 3,49% (1996), 87,83 Ha atau 1,82% (2002), dan Jakarta Barat 121,8 Ha atau 0,93% (2007).

Provinsi DKI Jakarta proporsi penggunaan lahan basah kurang dari 10 % dari seluruh luasan provinsinya pada periode banjir yang tersebar di 261 kelurahan. Penurunan luasan penggunaan lahan basah karena pembangunan dalam 10 tahun terakhir, yaitu 893,84 Ha (1996-2002), 2755,7 Ha (2002-2007), dan 3649,54 Ha (1996-2007). Periode lima tahun pertama yakni pada tahun 1996-2002, persebaran penurunan terbesar untuk lahan basah terjadi di Jakarta Selatan 870,11 Ha, dan penurunannya kategori luasan terkecil di Jakarta Pusat 80,45 Ha kecual di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tidak ada penurunan luasan lahan basah. Pada tahun 2007-2002, penurunan luasan lahan basah terdapat di Jakarta Utara 1019,44 Ha, Jakarta Barat 900 Ha, dan Jakarta Timur 898,87 Ha. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan tidak terjadi penurunan luasan lahan basah. Periode 1996-2007, penurunan luasan lahan basah di lima kota administratif nya dimana yang terbesar di Jakarta Timur 1383,77 Ha atau 7,37%, lahan basah dengan penurunan luasannya terkecil di Jakarta Pusat 44,97 Ha atau 0,9% dari luasan kota administratifnya (Gambar 4).

Akibat dari penurunan luasan lahan basah (misal rawabelakang berubah menjadi lahan-lahan permukiman) di permukaan bentuklahan aluvial dataran rendah Jakarta maka pada saat hujan besar dan lama aliran air permukaan tidak dapat tertampung lagi di bentuklahannya dan berubah menjadi limpasan permukaan. Kondisi penggunaan lahan basah untuk lahan-lahan permukiman di Bentuklahan rawabelakang sebagai sasaran daerah banjirnya. Penyebaran sasaran daerah banjir misalnya terdapat di Kelurahan Rawamangun,dan Rawa Bunga.

 

 

Gambar 4.. Grafik Penggunaan Lahan Basah di Provinsi DKI Jakarta, Periode banjir besar

Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta, 2009).

 

Penggunaan lahan terbangun berfungsi sebagai penyebab besaran aliran permukan pada saat hujan di 14 DAS, sehingga mempengaruhi karakteristik banjir baik secara spasial dan temporal di Provinsi DKI Jakarta. Penggunaan lahan terbangun di Provinsi DKI seluas 42108,1 Ha atau 64,5% (1996), 46932,7 Ha atau 71,9% (2002) dan 49647,8 Ha atau 76% (2007) dari luas provinsinya. Rata-rata penambahan setiap tahun dalam 10 tahun terakhir penggunaan lahan terbangun seluas 4.623 Ha per tahun atau 7,08% dari luasan provinsi DKI Jakarta.

Persebaran lahan terbangun pada 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola ruang yang sama dengan luasan berbeda selama 10 tahun terakhir adalah sebagai berikut pada tahun 1996, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur 12164,8 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 10629,4 Ha, Jakarta Barat 8846,9 Ha, dan Jakarta Utara 6942,1 Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 3524,9 Ha.

Pada tahun 2002, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur 13656,4 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 11938,2 Ha, Jakarta Barat 9458,9 Ha, dan Jakarta Utara 8014,9 Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 3864,3 Ha. Pada tahun 2007, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur 14360,5 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 12182,5 Ha, Jakarta Barat 10517,7 Ha, dan Jakarta Utara 8515,5 Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 4071,6 Ha.

Ada peningkatan luasan lahan terbangun pada lima tahun pertama (1996-2002) sebesar 4824,61 Ha atau 964,92 Ha tiap tahunnya atau 7,38% dari luasan provinsi. Pada lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta penambahan luasan lahan terbangun seluas 2715,07 Ha atau 543,01 Ha tiap tahunnya atau 4,16%. Dalam 10 tahun, total peningkatan lahan terbangun seluas 7539,68 Ha atau 11,54% (1996-2007). Terjadi peningkatan luasan penggunaan lahan terbangun pada 5 kota administratif di DKI Jakarta periode banjir besar yakni 1996-2002, 2002-2007, dan 1996-2007 adalah sebagai berikut  periode 1996-2002, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di Kota administratif Jakarta Timur 1491,64 Ha. Kemudian, di Jakarta Selatan 1308,74 Ha, Jakarta Utara 1072,81 Ha, dan Jakarta Barat 612,01 Ha. Pada peningkatan luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta Pusat 339,41 Ha atau 67,9 Ha per tahunnya.

Periode 2002-2007, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di Kota administratif Jakarta Barat 1058,8 Ha. Kemudian, di Jakarta Timur 704,06 Ha, Jakarta Utara 500,6 Ha, dan Jakarta Selatan 244,3 Ha. Pada peningkatan luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta Pusat 207,31 Ha atau 41,5 Ha per tahunnya. Periode 1996-2007, dalam 10 tahun terakhir ada peningkatan luasan lahan terbangun dimana terluas terdapat di Kota administratif Jakarta Timur 2195,7 Ha. Kemudian, di Jakarta Barat 1670,78 Ha, Jakarta Utara 1573,41 Ha, dan Jakarta Selatan 1553,07 Ha. Pada peningkatan luasan terbangun tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta Pusat 546,72 Ha atau 0.08%  per tahunnya (Gambar 5).

 

Gambar 5. Grafik Penggunaan Lahan Terbangun di Provinsi DKI Jakarta, Periode banjir besar

Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta, 2009).

 

Ada kesamaan letak dari pola persebaran proporsi penggunaan lahan terbangun pada tahun 1996, 2002, dan 2007 dimana proporsi penggunaan lahan terbangun kategori tertinggi terdapat di kelurahan Galur yakni 49.79%, Duri Utara dan Kayu Manis yang masing-masing 49,95%. Proporsi penggunaan lahan terbangun dengan kategori terkecil di kelurahan Kamal Muara 5,54% dan meningkat 15% (2007) dari keseluruhan luasan penggunaan lahan Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta sebagian besar (> 50%) luasan penggunaan lahan terbangun berupa bangunan rumah dengan kategori penggunaan lahan permukiman 38.658 Ha sebagai potensi banjir.

Persebaran wilayah permukiman penduduk yang bentuklahan aluvial yang selalu terendam oleh air banjir  mencakup semua tempat di :

  1. Kota administrasi Jakarta Barat meliputi Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Daan Mogot, Kedoya, Meruya, Kebun Jeruk, Tomang, Joglo, Kemanggisan, Grogol, Pal Merah, Petamburan, dan Puri Kembangan;
  2. Kota administrasi Jakarta Selatan meliputi Kelurahan Mampang, Tegal Parang, Pejaten, Tebet, Bukit Duri, Kebun Baru, Pesanggrahan, Pondok Jaya, Blok S, Prapanca, Blok A, Pakubowono, Cipulir, Bintaro IKPN, STO Semanggi II, Gatot Subroto dan Sangrila Indah;
  3. Kota administrasi Jakarta Timur meliputi Kelurahan Kampung Melayu, Bidara Cina, Jatinegara, Cipinang Muara dan Durensawit;
  4. Kota administrasi Jakarta Utara meliputi wilayah Pluit, Penjaringan Kota, Cilincing, Kelapa Gading, Cakung, Martadinata, dan Sunter; dan
  5. Kota administrasi Jakarta Pusat meliputi wilayah Agus Salim, Tanah Abang, Cideng, Thamrim Dukuh Atas, dan Jati Baru.

 

Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa diantara faktor tersebut terdapat korelasi yang cukup tinggi. Penggunaan lahan permukiman dengan luasan banjir berkorelasi sangat tinggi (0,849). Semakin luas penggunaan lahan permukiman maka semakin luas banjir pada masing-masing bentuklahan. Penggunaan lahan permukiman dengan ketinggian banjir berkorelasi tinggi (0,592) artinya bahwa semakin luas penggunaan lahan permukiman, semakin tinggi air banjirnya. Hal ini adalah fenomena yang wajar terjadi di bentuklahan aluvial Jakarta yang berlereng datar dan elevasi rendah serta banjir.

Faktor-faktor lain yang juga menunjukkan korelasi tinggi adalah penggunaan lahan permukiman dengan lama banjir (0,648) berarti semakin luas penggunaan lahan permukiman maka semakin lama banjirnya kecuali di bentuklahan kipas aluvial dimana korelasinya cukup tinggi (0,344) artinya semakin luas penggunaan lahan permukiman, semakin lama waktu banjirnya. Banjir karena terhalang atau terperangkap oleh bangunan permukiman (lihat Tabel 1) di bawah ini:

 

 

Tabel 1.  Korelasi Antar Faktor

Penggunaan Lahan Permukiman LuasanBanjir KetinggianBanjir LamaBanjir
Pearson Correlation Penggunaan Lahan Permukiman

1,000

,849**

,592**

,648**

LuasanBanjir

,849**

1,000

,359**

,261**

Ketinggian Banjir

,592**

,359**

1,000

,372**

LamaBanjir

,648**

,261**

,372**

1,000

Sumber: Pengolahan data menggunakan SPSS Base 7.5 for Windows

Dari analisis korelasi menunjukkan bahwa terjadi korelasi yang tinggi di antara faktor yang dianalisis. Oleh karena itu, dalam mencari hubungan antara penggunaan lahan permukiman dengan faktor-faktor yang telah disebutkan maka digunakan metode stepwise dengan kriteria entry αF = 0.05 dan removal αF = 0.10 (lihat Tabel 2).

Tabel 2.. Model Summary: Banjir di Penggunaan Lahan Permukiman

Model

R

R Square

Adjusted

R Square

Std

Error of

The Estimate

1

,795

,685

,674

,1775

Sumber: Pengolahan data menggunakan SPSS Base 7.5 for Windows

Tabel 2. dapat dijelaskan bahwa luasan penggunaan lahan permukiman mempengaruhi persebaran spasial dan temporal pada karakteristik banjir di bentuklahan aluvial Jakarta. Bahwa penggunaan lahan permukiman berpengaruh signifikan (nilai signifikansi 0,05) memiliki korelasi 0,795. Ini berarti bahwa semakin tinggi prosentase luasan penggunaan lahan permukiman pada semua kategori, maka semakin tinggi karakteristik banjirnya baik luasan, ketinggian, maupun lama banjir di bentuklahan dataran rendah Jakarta.

 

4. Kesimpulan

Ternyata lebih dari 50% atau 25.000 Ha penggunaan lahan permukiman  terendam banjir di mana yang dominan terdapat pada wilayah kota administrasi Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan sebagian kecil di wilayah kota administrasi Jakarta Pusat. Ada kaitan yang significant (> 10%) perubahan penggunaan lahan berupa “parkir air” seperti situ dan rawa ke penggunaan lahan terbangun misal lahan permukiman di 5 kota administrasinya dengan persebaran wilayah banjirnya.

. Penggunaan lahan permukiman dengan luasan banjir berkorelasi 0,849 sedangkan dengan ketinggian banjir berkorelasi 0,592 dan dengan ketinggian banjir berkorelasi 0,592. Bahwa penggunaan lahan permukiman berpengaruh signifikan (nilai signifikansi 0,05) mempunyai korelasi 0,795. Ini berarti bahwa semakin tinggi prosentase luasan penggunaan lahan permukiman pada semua kategori, maka semakin tinggi karakteristik banjirnya baik luasan, ketinggian, maupun lama banjir di bentuklahan dataran rendah Jakarta kecuali di bentuklahan kipas aluvial yang landai hingga agak terjal.

 

5. Daftar Kepustakaan

Atlas DKI Jakarta Raya. 1982. Tanah dan Kegiatan Pembangunan. Publikasi No.214. Direktorat Tata Guna Tanah. Departemen Dalam Negeri.

 

Badan Kemitraan Universitas Indonesia (BKUI). 1999. Modul SPSS Base 7.5. Seri Pengolahan Data. Jakarta.

 

BPS. 2010. Jakarta Dalam Angka. BPS. Provinsi DKI Jakarta.

 

Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta. 2004. GeoInformasi dalam Penanganan Banjir DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta.

 

Notohadiprawiro T., 1989. Pola Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan basah, Rawa, dan Pantai. https://www.soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1981/1989%20pola.pdf.pkl 16.00 wib ( 3 Maret 2009).

 

Sandy I.M., 1989. Esensi Pembangunan Wilayah dan Penggunaan Tanah Berencana. Jurusan Geografi FMIPA-Universitas Indonesia, Jakarta.

 

Sutikno. 2007. ”Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?”, dalam https://www.sutikno.org/index.php (27 Februari 2009).

 

Verstappen, H.Th., 1953. Djakarta Bay, a Geomorphological Study on Shoreline Development. Doctoral Thesis, Univ. Utrecht, Drukkerij Trio’s Gravenhage, The Netherlands.

KAITAN PENGGUNAAN LAHAN PERKOTAAN DENGAN BANJIR*)
(Studi kasus: di Provinsi DKI Jakarta tahun 1996, 2002, dan 2007)
Oleh:
Mangapul P.Tambunan
Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
E-mail: mangapul.parlindungan@ui.ac.id (more…)

About

Leave a Reply