MENYOAL BANJIR, KEMACETAN DAN LOKASI IBUKOTA NEGARA: Apa dan bagaimana?
djoko.harmantyo@ui.ac.id
Tulisan ini mencoba merangkum berbagai gagasan yang diwacanakan saat Jakarta dilanda bencana banjir dan kemacetan lalulintas. Banjir dan macet identik dengan terhambatnya suatu aliran massa benda yaitu kendaraan bermotor dan aliran air permukaan. Persoalannya adalah apakah kapasitas tempat untuk mengalirkan massa memadai atau tidak. Jika kapasitas badan sungai tidak memadai maka terjadilah fenomena banjir dan jika kapasitas jalan tidak memenuhi maka terjadilah kemacetan lalulintas kendaraan. Keduanya juga menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang besar mencapai milyaran bahkan trilyunan rupiah sebagai akumulasi nilai kerusakan lingkungan, penurunan produktivitas, hilangnya peluang bisnis dan bahkan hilangnya nyawa manusia.
Muncul berbagai konsep, gagasan atau wacana dan diantaranya telah dijadikan keputusan politik. Misalnya membangun jalan layang atau jalan toll untuk mencegah kemacetan, atau membangun waduk dan bendungan, menambah saluran drainase seperti BKB dab BKT untuk mencegah banjir. Terakhir muncul gagasan membangun deep tunel dan menerapkan teknologi modifikasi cuaca untuk solusi banjir. Seolah-olah kita sudah kehabisan akal mencari cara untuk bagaimana agar banjir tidak terjadi di Jakarta. Ide untuk menggeser hujan yang mestinya jatuh di daratan Jakarta diupayakan jatuh di atas wilayah Teluk Jakarta adalah suatu usaha coba coba. Apalagi dengan dukungan anggaran yang begitu besar dan perkiraan 30% volume curah hujan bisa dipindahkan adalah sangat tidak realistis..
Banyak pertanyaan bermunculan seperti, dapatkah dibuktikan bahwa material garam NaCl sebagai inti kondensasi sebanyak 5 ton yang ditebarkan di atas laut Jawa menjadi hujan yang jatuh di teluk Jakarta? Apakah telah terjadi hujan di atas teluk Jakarta dan berapa besar volumenya? Apakah hujan tanggal 27, 28, 29 Januari 2013 di wilayah Jakarta memang berkurang? Jika ya, apakah dapat disimpulkan bahwa hujan yang jatuh di Teluk Jakarta adalah hujan yang seharusnya jatuh di daratan Jakarta? Bukankah konsentrasi uap air dalam massa udara pada musim ini memang tinggi dan merata sehingga usaha mempercepat jatuhnya hujan dalam volume massa udara yang relatif sangat kecil (hanya dengan 5 ton garam NaCl) cenderung tidak berpengaruh secara signifikan dibandingkan dengan besarnya aliran gelombang massa udara pada musim monsun barat yang begitu kuat dan masiv? Dengan demikian, apakah angka perkiraan berkurangnya curah hujan sebesar 30% realistis?
Hujan sebagai berkah
Salah satu diskusi menarik tentang kejadian hujan muncul sebagai awal persoalan bencana banjir. Wilayah Jakarta sebagai bagian wilayah Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa memiliki pola musim hujan yang tetap dengan puncaknya pada bulan Januari karena pengaruh aliran massa udara basah dari arah Asia menuju ke Australia sebagai ciri monsun barat. Massa uap air dalam udara pada bulan Januari memang tinggi sehingga salah satu faktor dominan untuk terjadinya hujan adalah adanya punggungan pegunungan dan gunung di Selatan Jakarta yang menyebabkan massa udara naik sampai pada titik kondensasi berakibat terjadinya hujan orografis. Bogor dikenal dunia sebagai kota hujan karena berada pada daerah cakupan hujan ini. Wilayah Bogor merupakan hulu 13 DAS yang mengalir di Jakarta. Data curah hujan bulan Januari di wilayah Jabodetabek selama 100 tahun tidak pernah kurang dari 300 mm (periksa gambar 1).
Gambar 1. Rerata Curah Hujan di Jakarta (Harmantyto, 2010)
Tampak pada gambar 1 bahwa jumlah curah hujan pada stasiun pengamatan Jakarta bulan Januari cenderung paling banyak dibanding bulan lainnya yaitu 300-450 mm. Jumlah hujan cenderung mulai menurun pada bulan Februari tapi masih dalam jumlah yang cukup besar yaitu 250-350 mm. Untuk wilayah Bogor dan Puncak memiliki angka lebih besar tapi dengan pola hujan yang tidak berbeda.
Apabila fakta ini digunakan dalam mencari solusi banjir di Jakarta maka kita harus melihat bahwa hujan sebagai faktor alam perlu dipandang sebagai berkah dan anugerah Tuhan untuk dikelola dengan sebaik-baiknya karena pada bulan bulan tertentu penduduk Jakarta kekurangan air akibat curah hujan sedikit pada musim kemarau. Menolak anugerah dengan membuang air hujan ke laut adalah sebuah pemikiran dan keputusan yang seharusnya dihindari, apapun alasannya. Masih tersedia banyak gagasan yang dapat dilahirkan untuk tujuan menghindari terjadinya banjir. Misalnya membuat bangunan Model Campuran (Mixed Model). Model ini adalah sebuah bangunan yang berfungsi ganda yaitu bagian bawah sebagai saluran air dan bagian atas sebagai jalan bagi kendaraan bermotor. Lokasi bangunan ini berada di sisi kiri dan kanan BKB dan BKT atau di atasnya, agar tidak perlu ada ganti rugi tanah sehingga biaya pembangunannya lebih murah dibanding membuat Deep Tunel.
Disamping solusi jangka pendek dengan teknologi tersebut ada solusi jangka panjang yang harus dilakukan yaitu dengan menghilangkan faktor dominan penyebab banjir. Faktor dominan yang menjadi penyebab banjir adalah kumpulan sampah yang mengganggu kelancaran aliran air sungai karena mempersempit badan sungai dan sekaligus menyumbat saluran saluran drainase yang ada. Jika saja 1400 m3 sampah per hari tidak masuk ke dalam aliran air sungai maka kemungkinan besar fungsi drainase dan peran BKB-BKT akan maksimal sehingga terjadinya banjir besar akan dapat dihindari. Oleh karena itu penanganan sampah harus menjadi prioritas pertama penanggulangan masalah banjir di Jakarta. Bagaimana caranya agar sampah tidak masuk ke sungai?
Salah satu cara sederhana yang diusulkan adalah dengan membuat alat penjaring sampah seperti layaknya alat menjaring ikan yang dipasang melintang di dua titik yang berseberangan sepanjang lebar badan sungai. Alat ini dibangun di beberapa lokasi yang terintegrasi dengan ketersediaan sistem pembuangan sampah ke lokasi TPA sampah. Lokasi paling atas adalah pada perbatasan wilayah Jakarta dengan Kota Depok di sungai Ciliwung, untuk mengetahui besaran sampah dari luar Jakarta. Pada lokasi ini dapat dibangun bendungan pengendali aliran air sungai dan dapat sekaligus dibangun instalasi PDAM untuk mengoptimalkan pemanfaatan air sungai.
Lokasi pembangunan alat penjaring sampah ditentukan sekaligus untuk mengetahui lokasi wilayah sumber sampah yang masuk ke sungai. Wilayah sumber asal sampah dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan penduduk yang memiliki tingkat kesadarann lingkungan rendah. Informasi banyaknya sampah yang terjaring di berbagai lokasi tersebut dapat menjadi instrumen untuk menegur pejabat pejabat wilayah yang bersangkutan untuk lebih aktif melakukan sosialisasi pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Dalam satu tahun masa operasi alat tersebut akan dapat diketahui sejauh mana kontribusi alat ini dalam mengurangi kejadian banjir di Jakarta sekaligus untuk evaluasi program lain yang terkait dengan masalah banjir. Pembangunan sistem sederhana tersebut tidak membutuhkan dana besar namun efektif untuk mengurangi sampah yang masuk ke sungai dengan harapan suatu ketika kita dapat melihat kumpulan ikan di dalam air sungai Ciliwung yang jernih. Program pengerukan alur sungai akan efektif jika gagasan ini sudah berjalan karena bukan hanya sampah tetapi juga lumpur hasil sedimentasi dapat dihasilkan dengan pemasangan alat tambahan. Air sungai yang jernih akan banyak manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Jakarta.
Sementara itu pada sisi yang lain, para pengambil keputusan dan perencana berlomba-lomba menghitung berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mengatasi banjir di Jakarta. Muncul angka yang fantastis yaitu mencapai trilyunan rupiah. Fakta menunjukkan bahwa anggaran pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang tersedia sangat terbatas dan tentu saja karena ada masalah lain yang juga perlu menjadi prioritas perhatian seperti program penuntasan kemiskinan, pemerataan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Nah, pada titik inilah muncul wacana atau gagasan untuk memindahkan ibukota Negara ke tempat lain. Salah satu alasan yang dikemukakan antara lain adalah untuk menghindari pandangan dunia tentang kondisi ibukota Negara yang buruk karena selalu kebanjiran dan fenomena kemacetan serta semrawutnya lalulintas yang terjadi setiap saat di Jakarta. Bukankah kejadian banjir dan macet adalah cerminan budaya masyarakatnya? Gagasan untuk memindahkan ibukota ini nampaknya cukup rasional, kenapa?
Kota Jakarta bukan sebagai ibukota Negara
Berangkat dari fakta (1) bahwa bentang geografis Jakarta sebagian besar merupakan kantong air dan ketinggian di beberapa tempat lebih rendah dari muka laut dan menghadapi peningkatan tumpukan sampah yang masuk ke sistem drainase kota sehingga berpotensi terjadinya banjir. Apalagi jika dikaitkan dengan dampak perubahan iklim yang mengindikasikan terjadinya cuaca ekstrim seperti curah hujan yang sangat besar di Indonesia berpeluang besar terjadi di masa datang. Fakta (2) bahwa jumlah kendaraan yang masuk ke sistem jaringan jalan di wilayah Jakarta semakin meningkat sementara luasan jalan yang ada relatif tidak bertambah sehingga berpotensi terjadinya kemacetan. Di sisi lain fakta tersebut dihadapkan pada ketersediaan anggaran pemerintah yang terbatas.
Oleh karena itu dipandang perlu ada terobosan keputusan politik untuk bagaimana menjadikan kota Jakarta mampu secara mandiri menjalankan fungsi sebagai pusat perekonomian dan perdagangan, pusat industri, pusat wisata dan pendidikan, sehingga mampu menghimpun dana besar untuk mengatasi persoalan kemacetan dan banjir. Pemerintah daerah didorong bekerjasama dengan dunia bisnis untuk dapat memperoleh dukungan dalam mengatasi persoalan banjir dan kemacetan di Jakarta agar kegiatan bisnis mereka dapat berjalan lancar, efektif dan efisien. Kota Jakarta harus diarahkan bukan untuk menjadi ibukota Negara tetapi dipromosikan sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional yang mampu bersaing di tataran regional dan global. Daya dukung kota Jakarta bertambah karena tidak lagi ada berbagai aktivitas pemerintahan ibukota Negara seperti aktivitas Kementrian, Lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara serta aktivitas Kedutaan Besar negara sahabat dan lembaga lembaga internasional. Berkurangnya aktivitas pemerintahan ibukota Negara menjadikan pemerintah daerah dapat secara leluasa membuat perencanaan lebih fokus untuk membangun kotanya menuju sebuah kota modern abad 21.
Pindahnya seluruh aktivitas ibukota Negara meninggalkan aset aset bernilai ekonomi tinggi seperti gedung gedung pemerintah yang umumnya terletak pada lokasi sangat strategis dan diperkirakan bernilai puluhan bahkan dapat mencapai ratusan trilyun rupiah. Di samping itu ada aset yang bernilai sejarah untuk mendukung kota Jakarta sebagai pusat pariwisata seperti istana negara dan istana merdeka. Kepindahan seluruh aktivitas pemerintah pusat ke lokasi ibukota Negara yang baru diperkirakan tidak akan mempengaruhi kegiatan perekonomian kota Jakarta secara signifikan. Bahkan kemungkinan dapat memperlancar dan mempercepat proses transaksi ekonomi pada level strategik karena prosesnya diserahkan pada pasar. Penerapan berbagai kebijakan seperti roadpricing, tarif parkir tinggi, pajak dan kebijakan lainnya dilakukan daam rangka meningkatkan penerimaan pemerintah daerah untuk membangun kota Jakarta sebagai kota modern kebanggaan Indonesia. Dana yang diperoleh dikembalikan dalam bentuk pembangunan sarana jalan agar tidak terjadi kemacetan, pembangunan sistem drainase yang andal agar tidak terjadi banjir besar, pembangunan perumahan bagi warga bantaran kali dapat dilakukan karena tersedia dana cukup dan seterusnya. Warga Jakarta membayar pajak tinggi tetapi dapat kesempatan memperoleh penghasilan tinggi juga karena tersedia sarana dan prasarana ekonomi yang memadai untuk berusaha.
Ibukota Negara di lokasi baru
Apabila ada kemauan politik untuk memindahkan ibukota Negara, persoalannya kemudian adalah di mana alternatif lokasi baru ibukota Negara kita? Tentu saja akan muncul berbagai usulan yang tentunya memiliki alasan dan pertimbangan masing masing. Yang pasti adalah bahwa ada landasan teoritis untuk bagaimana menentukan suatu lokasi ibukota agar fungsi dan tujuan seluruh kegiatan ibukota Negara dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa menimbulkan konflik sosial dan terhindar dari bencana alam. Konsep perkembangan kota Megapolitan dan arah kecenderungan politik global dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan lokasi terbaik sebuah ibukota Negara. Tulisan tentang hal ini akan dikemukakan pada kesempatan lain.
Bacaan:
Djoko Harmantyo. 2010. Dinamika Iklim Indonesia. Publikasi Departemen Geografi FMIPA- UI. Depok.
Djoko Harmantyo. 2011. Geografi Indonesia. (unpublished) Departemen Geografi FMIPA- UI Depok.
Peter Haggett. 2001. Geography. A Global Synthesis. First Publication. Prentice Hall. London.
One Comment on “MENYOAL BANJIR, KEMACETAN DAN LOKASI IBUKOTA NEGARA: Apa dan bagaimana? DR. Djoko Harmantyo”