POLA MOBILITAS SPASIAL DAN REMITAN MIGRAN PEDAGANG SAYUR DI DKI JAKARTA
M.H. Dewi Susilowati, Tuty Handayani, Ratna Saraswati, Dewi Susiloningtyas
Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
mariahedwig@ui.ac.id; ratna.saraswati@ui.ac.id; tuty.handayani@ui.ac.id; dewi.susiloningtyas@ui.ac.id;
ABSTRAK
DKI Jakarta telah lama menghadapi masalah pertumbuhan penduduk yang pesat, terutama masuknya migran permanen maupun non permanen dalam skala besar. Namun fenomena ini dapat lebih mempercepat pemerataan pendapatan ke daerah asal, dengan transfer pendapatan (remitan). Tujuan tulisan ini adalah (a) menilai hubungan mobilitas spasial dan remitan pedagang sayur; (b) Menilai hubungan karakteristik pedagang dengan remitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola mobilitas pedagang sayur adalah permanen dan tidak permanen (sirkuler). Lama migran tinggal di daerah tujuan tidak ada hubungan dengan besar kecilnya remitan, demikian pula karakteristik pendidikan maupun jenis kelamin migran juga tidak ada hubungannya dengan besar kecilnya remitan. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara usia migran dengan besar kecilnya remitan, yaitu migran umur muda cenderung memberikan remitan lebih besar dibanding usia tua. Remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
Kata kunci; mobilitas, remitan, karakteristik migran
PENDAHULUAN
Mobilitas yang terjadi di negara-negara berkembang dipandang memiliki efek yang sama. Namun terdapat perbedaan fenomena yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan. Fenomena tersebut berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang atau barang), yang dalam teori mobilitas dikenal dengan istilah remitan (remittance). Menurut Connel dalam Junaidi, 2007, di Negara-negara sedang berkembang terdapat hubungan yang sangat erat antara migran dengan daerah asalnya dan hal tersebut yang menimbulkan fenomena remitan.
Mobilitas penduduk menuju ke kota di Indonesia semakin meningkat dengan pesat, ditunjukkan oleh angka pertumbuhan kota yang sangat tinggi, terutama terjadi pada periode tahun 1980 – 1990 yaitu sebesar 7,85 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan penduduk kota turun menjadi 2,01 persen pada periode 1990 – 2000, tetapi dilihat dari persentase penduduk yang tinggal di kota tampak semakin meningkat. Menurut sensus penduduk Indonesia menunjukkan, terutama penduduk kota di Indonesia pada tahun 1980 sebesar 22,38 persen, meningkat manjadi 35,91 persen pada tahun 1990. Sepuluh tahun kemudian (tahun 2000), penduduk kota Indonesia telah mencapai 42,43 persen. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan tujuan utama bagi pelaku mobilitas penduduk. Pada pereode tahun 1980 – 1990 pertumbuhan penduduk 3,08 persen per tahun, kemudian turun menjadi 0,14 persen per tahun pereode 1990 – 2000 (Romdiati H, 2004)
Secara umum, pada saat ini DKI Jakarta tengah menghadapi berbagai masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat, terutama masuknya migran permanen maupun non permanen dalam skala besar dan telah berlangsung lama.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran sebagai suatu instrument dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran dan merangsang tabungan dan investasi di daerah asal. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa remitan menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses pembangunan di daerah asal. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa tengah (Effendi dalan Junaidi, 2007). Sejak pertengahan tahun 1980, seiring dengan meningkatnya mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari peningkatan daya beli migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.
Mengingat persoalan di DKI Jakarta terkait erat dengan daerah asal migran maka hubungan harmonis dalam tataran nasional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain, saling membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi Indonesia selama ini maka persoalan yang diakibatkan oleh isu tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian, upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan. Upaya mengatasi persoalan DKI Jakarta sebagai akibat masuknya migran non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan yang sifatnya mikro atau spesifik.
Tujuan riset ini adalah (a) menilai hubungan mobilitas spasial dan remitan pedagang sayur; (b) menilai hubungan karakteristik pedagang sayur dengan remitan.
PEMBAHASAN
Mobilitas Pedagang Sayur
Migran pedagang sayur awalnya memang tidak berencana menetap di Jakarta. Mereka masih memiliki tempat tinggal di daerah asal, dan menganggap Jakarta merupakan lahan yang digunakan untuk mencari nafkah bagi kehidupan keluarganya di daerah asal. Oleh karena itu pada awalnya mereka masih mempertahankan Kartu Tanda Penduduk (KTP) daerah asal. Namun dengan berjalannya waktu berkait dengan kemudahan dan fasilitas yang diperolehnya kalau mereka memiliki KTP DKI, maka sebagian dari mereka pun memiliki KTP Jakarta. Ada yang sudah pindah alamat, tapi ada pula yang tidak melepaskan KTP daerah asal tapi berusaha memperoleh KTP DKI. Sebesar 82 % persen sudah memiliki KTP DKI dan hanya 18 % yang belum, kemungkinan ini adalah penduduk yang baru masuk Ke DKI. Sedangkan yang sudah lama, maka akan berusaha memperoleh KTP tersebut. Namun pemilikan KTP ternyata tidak menjadikan mereka betul-betul melepaskan diri dari daerah asal. Apalagi yang memang dari awal berdagang sayur ke Jakarta dengan meninggalkan keluarganya.
Asal pedagang sayur yang ada di Jatinegara dan Pulogebang bervariasi, namun dari cara mereka berbicara dan berhubungan sosial dengan pedagang lain serta penduduk disekitarnya, dominasi penduduk berasal dari etnis Jawa, dengan logat daerah asalnya, meskipun para pedagang itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam berdagang.
Propinsi Jawa Tengah mendominasi asal pedagang sayur, yakni 72 %, Jawa Barat hanya 12 % dan Banten hanya 6 %. Menarik sekali karena ternyata faktor jarak/kedekatan lokasi tidak berpengaruh terhadap kehadiran pedagang sayur dan di DKI.
Dari hasil penelusuran asal pedagang sayur di Jawa Tengah, ditemukan hal yang sangat menarik, yakni sebesar 59 % berasal dari Kabupaten Boyolali, sisanya 41 % berasal dari berbagai kabupaten . Menariknya lagi, bahkan kabupaten yang menempel di Jawa Barat dan lebih dekat seperti Brebes dan Banyumas, ternyata hampir tidak ada pedagang sayur yang diketemukan di daerah penelitian.
Kunjungan ke Daerah Asal
Dari responden di kedua kelurahan yang di kaji, ternyata variasi waktu pulang ke daerah asal sangat bervariasi. Pulang ke kampung rupanya mempunyai nilai yang sangat mahal. Hal ini terbukti dari seluruh responden hanya 2 % yang pulang hampir tiap bulan, 5 % yang sekitar 2 bulan, 8 % yang pulang tiap 6 bulan, yang paling banyak atau puncak pedagang yang pulang ke daerah asal, adalah setiap setahun sekali yakni sebesar 49 %. Ada kemungkinan mereka pulang sesuai dengan saat lebaran.
Hal tersebut dilihat dari pengamatan selanjutnya, terjadi penurunan jumlah pedagang sayur yang hanya tiap dua tahun sekali atau lebih banyak 8 %. Yang berarti karena menghemat uang makin lama tidak pulang makin banyak jumlahnya ternyata tidak terjadi. Ikatan dengan daerah asal tetap merupakan hal yang sangat penting. Kepulangan pada hari raya dimanfaatkan untuk membayar perjuangan yang selama setahun di lakukan di daerah tujuan. Kesempatan menunjukkan keberhasilannya, sekaligus melakukan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan karena meninggalkan rumah, seperti mengurus surat surat penting, menyiapkan kegiatan pendidikan anak, menyiapkan pembangunan rumah, dan berbagi kepentingan lainnya. Pada data tersebut yang pulang dengan waktu tidak menentu jumlahnya hanya 9 %, dan yang tidak pernah pulang alias sudah menetap di Jakarta sebesar 5 %.
Alasan tidak pulang adalah karena biaya, tetapi pada hari Raya mereka tetap berusaha pulang karena itu adalah saat penting agar dapat bertemu dengan keluarga besar, serta rekan-rekan yang juga melakukan kegiatan migran.
Lama Tinggal di Daerah Tujuan
Pedagang buah dan sayur yang saat ini berada di daerah penelitian, ternyata sebagian besar sudah cukup lama tinggal di daerah tersebut. Sekitar 59 % sudah berada di daerah tujuan lebih dari 10 tahun, 23 % sekitar lima sampai sepuluh tahun, sedangkan yang kurang dari satu tahun berjumlah 4 % saja. Baik Pulogebang maupun Jatinegara memiliki pola yang hampir sama. Ada kecenderungan jumlah yang tinggal di daerah tujuan baru sebentar jumlahnya sedikit, yang tinggal makin lama jumlahnya makin banyak. Sehingga ada dugaan pendatang yang bekerja sebagai pedagang sayur semakin sedikit pada tahun akhir akhir ini, apakah pekerjaan tersebut tidak menarik lagi, atau karena pada lokasi tersebut sudah terlampau banyak pedagang sayur, sehingga jenuh dan tidak mungkin atau tidak lagi menguntungkan bila jumlahnya bertambah.
Lamanya tinggal di tempat tujuan menunjukkan bahwa meskipun hidup mereka seadanya tapi pasti ada nilai tambah yang dirasakan bagi kehidupan keluarganya di daerah asal, sehingga mereka betah hidup sangat sederhana di daerah tujuan.
Remitan
Remitan merupakan bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan daerah asal, meskipun secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang migran, sudah ditanamkan dalam diri migran. Masyarakat akan menghargai migran yang secara rutin mengirim remitan ke daerah asal dan sebaliknya akan merendahkan migran yang tidak biasa memenuhi kewajiban dan tanggung jawab. Remitan dari migran, selain dipakai untuk sekolah anak-anaknya, juga menambah tabungan dan investasi di daerah asal. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa remitan menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses pembangunan di daerah asal.
Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga berpengaruh pada kemampuan membeli barang- barang konsumsi rumah tangga lainnya, seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda motor. Permintaan akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor lainnya sebagai contoh; usaha perikanan/ ternak ikan oleh keluarga yang berada di desa Ngagorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Orang tua dari responden pada saat itu sebagai bekas migran dari Jakarta, yang telah mengirimkan uang (remitan) ke daerah asal dan digunakan sebagai usaha ternak ikan.
Para migran akan melakukan pengorbanan dalam hal makanan, pakaian, dan perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal. Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan pendapatan. Migran penjual sayur, akan mencari rumah untuk tinggal yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin di pusat-pusat kota. Migran penjual sayur untuk memperbesar remitan, ada kecenderungan mengikuti sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama bekerja di kota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya remitan yang dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi, baik dalam bentuk uang maupun barang. Remitan migran yang dikirim ke daerah asal secara tidak rutin sebanyak 35,29 % dan secara rutin 64,71 %. Migran yang mengirim secara rutin, yang paling banyak (30,25 %) kurang dari 20 % dari pendapatan penjualan.
Pengiriman uang (remitan) ke keluarga di daerah asal dilakukan dengan berbagai cara, yaitu diantar langsung, lewat pos, titip tetangga atau saudara yang kembali ke daeras asal, maupun di transfer antar bank. Apabila dilihat dari data yang ada, yang paling banyak dikirim lewat tetangga atau saudara yang sedang kembali ke daerah asal. Pengiriman uang ke daerah asal sebagian rutin dan sebagian tidak rutin, serta terdapat 4 orang yang tidak mengirim uang ke daerah asal
Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik mobilitas/migrasi maupun migran itu sendiri. Karakteristik migrasi mencakup sifat mobilitas (sirkulasi dan menetap), lamanya di daerah tujuan. Karakteristik migrant meliputi; jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan migran, penghasilan migrant, serta sifat hubungan migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal.
Berkaitan dengan sifat mobilitas dari pekerja, terdapat kecenderungan pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingkan dengan yang bersifat sementara (sirkuler), menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran sirkuler berkisar 20 – 50 persen dari keuntungan penjualan, sedangkan pada migran permanen kurang dari 20 persen dari keuntungan penjualan.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan berhubungan dengan karakteristik migran. Uji Chi-Square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel. Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan besarnya remitan, menunjukkan bahwa perbandingan Chi-Square hitung dan tabel, dengan tingkat sinifikansi (α) = 0.05, derajat kebebasan (df) = 4, terlihat bahwa Chi-Square hitung angka probabilitasnya 0,087 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin migran tidak ada hubungan dengan besar kecilnya remitan. Besarnya hubungan (Contingency Coefficient) 0,253, berarti tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95 %, atau tidak terdapat perbedaan besarnya remitan dilihat dari jenis kelamin migran. Sedangkan untuk korelasi tingkat usia/umur migran dan remitan, terlihat bahwa Chi-Square hitung (38,607 ) > Chi Square tabel, dengan tingkat sinifikansi (α) = 0.05 dan derajat kebebasan (df) = 16, kemudian berdasarkan probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya 0,001 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa usia migran ada hubungan dengan besarnya remitan. Ada kecenderungan migrant usia muda memberikan remitan lebih besar dibandingkan migran usia tua.
Hubungan antara pendidikan migran dengan besarnya remitan, terlihat bahwa perbandingan Chi-Square hitung dan tabel, dengan tingkat sinifikansi (α) = 0.05, derajat kebebasan (df) = 20, terlihat bahwa Chi-Square hitung (23,634) < Chi Square tabel, kemudian berdasarkan probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya 0,259 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan migran tidak ada hubungan dengan besar kecilnya remitan, karena pendidikan penjual sayur maupun buah relatif sama yaitu tingkat SD.
Besarnya remitan tidak ada hubungannya dengan lamanya migran tinggal di daerah tujuan. Ditemukan bahwa besarnya remitan yang dikirimkan ke daerah asal, tidak berbeda nyata antara migran yang tinggal kurang dari satu tahun hingga lebih dari 10 tahun. Hal ini didukung hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Squqre, dengan tingkat sinifikansi (α) = 0.05, derajat kebebasan (df) = 12, terlihat bahwa Chi-Square hitung (11,010) < Chi Square tabel, kemudian berdasarkan probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya 0,528 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa lama migran tinggal di daerah tujuan tidak ada hubungan dengan besar kecilnya remitan.
Migran yang sudah membawa keluarga inti ke Jakarta, pada umumnya remitan kecil, disebabkan karena hubungan keluarga yang di daerah asal bukan keluarga inti namun orang tua atau saudara. Demikian pula keluarga yang sudah lama bekerja di DKI Jakarta, disebabkan oleh semakin berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan masyarakat/ lingkungan di daerah tujuannya.
Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta keluarga di luar keluarga inti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
Hasil pengiriman uang akan menentukan dampak remitan terhadap pembangunan daerah asal. Hasil penelitian telah menemukan beberapa tujuan remitan yaitu sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari- hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua.Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Bentuk investasi adalah perbaikan rumah, modal usaha kecil. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise seseorang. Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai simbol kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau.
Dari hasil penelitian ternyata pemanfaatan terbesar dari hasil kerja para migran adalah untuk pendidikan, termasuk biaya hidup. Responden tersebut umumnya adalah orang tua dari migran yang masih lajang. Namun demikian migran yang masih lajang juga ada yang membiayai pendidkan adiknya. Pemanfaatan kerja migran yang lain adalah untuk modal usaha, ini biasanya dilakukan oleh migran wanita yang suaminya berada di daerah asal, atau sudah memiliki anak dewasa yang sudah selesai sekolah, dan tidak mau melanjutkan sekolah. Modal usaha tersebut antara lain untuk usaha ternak ikan, usah penjualan pulsa dan berbagai perdagangan lain, namun tidak ada satupun yang menjawab untuk usaha berdagang sayur. Hal ini menarik, karena di daerah tujuan beberapa pria yang melakukan migrasi juga berdagang sayur.
Manfaat dari kegiatan migrasi bisa dibuktikan dengan hasil yang nampak dari tabel tersebut. Meskipun yang menempuh pendidikan SMA masih yang tertinggi, kemudian keluarga yang masih memiliki anak SD juga masih cukup banyak. Namun 24 % dari responden dapat membiayai anaknya di perguruan tinggi adalah suatu hal yang sangat membanggakan sebagi hasil jerih payah meninggalkan keluarganya. Pengertian Perguruan Tinggi di sini memang tidak selalu strata Sarjana, ada beberapa yang menempuh pendidikan D3 atau akademi, namun tetap saja merupakan prestasi yang sangat baik. Hal ini tentu saja menjadikan migrasi ke Jakarta menjadi suatu tumpuan, karena pada kenyataannya dapat mewujudkan impian yang susah untuk di laksanakan apabila tidak
PENUTUP
Pola mobilitas pedagang sayur adalah permanen dan tidak permanen (sirkuler). Lama migran tinggal di daerah tujuan tidak ada hubungan dengan besar kecilnya remitan, demikian pula karakteristik pendidikan maupun jenis kelamin migran juga tidak ada hubungannya dengan besar kecilnya remitan. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara usia migran dengan besar kecilnya remitan, yaitu migran umur muda cenderung memberikan remitan lebih besar dibanding usia tua. Remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, B.J.L., E.C. Conkling & D.M. Ray 1993. The Global Economy: Resource Use, Locational Choice, and International Trade. P.Hall, New Jersey.
Badan Pusat Statistik. 2002. DKI Jakarta Dalam Angka. BPS.
Bandiyono S, 2005. Mobilitas Non Permanen di Permukiman Kumuh Kota Ciamis, Kebijakan Pengelolaan. Jawa Barat
Dovring, F. 1987. Land Economics. PWS Publishers, Boston.
Earickson R & John Harlin, 1994. Geographic Measurement and Quantitative Analysis. Macmillan College Publishing Company, New York.
Goldblum, C. & T.C. Wong 2000. Growth Crisis and Spatial Change : a Study of Haphazard Urbanization in Jakarta, Indonesia. In Land Use Policy 17. Elsevier Science Ltd., Nl.
Gondokusumo, M.D. 1987. Kualitas Hidup sebagai Dasar Tata Ruang Kota Kasus Kota Jakarta. Tesis. FPS UI. Jakarta
Herbert, D.T. & C.J. Thomas 1982. Urban Geography: a First Approach. John Wiley & Sons., New York.
Johnston, R.J, 1978. Multivariate statistical analysis in geography, a primer on the general linier model, Longman Group Lemited, London.
Junaidi, 2007. Mobilitas dan Remitan Penduduk Jatinom Jawa Tengah. Download Internet, Februari 2010.
Lillesand, T.M & R.W. Kiefer 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Nagle, G. 2000. Advanced Geography. Oxford University Press, Oxford: 464 pp
Purwadi, F Sri Hardiyanti. 2002. Deteksi Permukiman Kumuh Dari Citra Ikonos, Studi Kasus Kabupaten Bekasi dan Karawang, Jawa Barat. Jurnal Geografi, Nomor 04/Juli 2002, ISSN 0216-1517, FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.
Romdiati H dan Mita Noverita, 2004. Mobilitas Penduduk Antar Daerah Dalam Rangka Tertib Pengendalian Migrasi Masuk ke DKI Jakarta. Semiloka Urbanisasi, Jakarta
Seik, F.T. 2000. Subjective Assessment of Urban Quality of Life in Singapore (1997 – 1998). In Habitat International 24.
Susilowati MH.Dewi, dkk, 2009. Model Kemitraan Pemerintah Lokal, Pengusaha, LSM Dalam Rangka Pemberdayaan Pedagang Sayur dan Buah pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Jatinegara dan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Hibah PHKI, Universitas Indonesia.
Susilowati MH.Dewi, dkk, 2010. Pemberdayaan Pedagang Sayur dan Buah pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Melalui Pengelolaan Sisa Dangangan. Hibah PHKI, Universitas Indonesia.
Susilowati MH.Dewi, dkk, 2010. Pemberdayaa Masyarakat Desa Ngargorejo. Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah Melalui Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Hibah PHKI, Universitas Indonesia.