Diskusi Publik Format Penyelesaian Konflik Pertanahan di Indonesia
Taqyuddin, staff pengajar di Departemen Geografi FMIPA UI, Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT), Yayasan Buana Katulistiwa, www.bukapeta.com, dalam diskusi terbuka Kaukus Muda Indonesia (KMI), TIM 21 Feb 2012.
A. Latar Belakang
Konflik pertanahan sudah menelan korban ratusan Jiwa manusia, pengrusakan, pertikaian, hingga demo jahit mulut, diam tak berdaya, penyelesaian yang berkeadilan tak kunjung ada. Berbagai Upaya oleh masyarakat, intelektual, pemerintah dan pihak pelaku ekonomi terbentur kebuntuan menemukan kata selesai dan adil. Arena penuntasan berbentuk wadah-wadah penyelesaian berbagai macam; administrative, hukum (yuridis), politik (kekuasaan), premanisme (penyerobotan, pengambilalihan paksa, penggusuran dll).
Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan setelah sekian lama merdeka semenjak rezim-rezim berkuasa di Indonesia; Persiapan Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, bentuk format penanganan pertanahan belum berubah. Apakah tidak belajar dari rezim yang terdahulu ? Apakah ada kebijakan yang salah, apakah ada upaya mengkondisikan seperti ini? Apakah Peraturan hukumnya tidak memadai? Apakah pelaksanaannya hukumnya yang sering terbobol oleh rekayasa pelaku? Apakah ada implementasi hukum yang sebenarnya tidak tepat di Indonesia? Hal ini semua membuat kita belajar lagi dan belajar lagi.
Menanggapi respon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar sidang kabinet dengan agenda pembahasan Peraturan Pemerintah Reforma Agraria, Kamis 26 Januari 2012 sebulan yang lalu. KMI mengelar diskusi mencari format penyelesaian konflik pertanahan di ndonesia ini merupakah langkah positif untuk belajar bersama.
Diskusi ini diharapkan memberi jawaban kepada kita tidak lagi mendengar, melihat dan membaca “masyarakat pertanahan Indonesia bersedih”. Memberi jawaban kepada masyarakat berkemampuan berdaya tawar dan berkemampuan dalam bersandar pada produk hukum (Yudikatif, legislative dan eksekutif) dan berkemampuan bersandar pada sistem politik (partai-partai), dan berkemampuan berlindung dan bersandar kepada petugas pertahanan dan keamanan, dan berkemampuan bersandar pada hukum-hukum adat yang diakui.
Konteks pengelolaan sumberdaya alam (tanah) Indonesia, pertanyaannya untuk apa dan untuk siapa? jawabannya jelas pengelolaan SD alam (tanah) untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk pribadi, sekelompok, komunitas tertentu, inilah nilai sosial tanah.
Permasalahan
Kupasan permasalahan:
Di sisi pemerintah terjadi timpang tindih dan ketidak sinkronan perencanaan terkait dengan akses tanah. Contoh Bapenas sebagai perencana nasional dari berbagai sektor tidak di dukung regulasi penyediaan tanah di atur oleh Negara, tetapi sering terbentur tidak berjalannya rencana karena tanah dikuasai secara dominan oleh salah satu sektoral pemerintah sendiri (64 % tanah pengaturan pengalihannya oleh menteri kehutanan (praktek orde baru yang belum tereformasi). PU merencanakan penataan ruang, Bagaimana bisa berjalan secara nasional ataupun daerah tanah yang ada tidak tersedia, revisi dan revisi yang berjalan sebagai dokumen pencapaiannya sangat minim. Di sektor pertambangan dari mulai proses pangajuan ijin pada luasan tanah explorasi dan tanah yang benar-benar operasional explorasi sangat terjadi pemborosan. Coba telah kebutuhan tanah ijin explorasi (berapa luas) dan praktek exploitasi berapa luas berapa selisih yang terlantar). Dan masih banyak lagi yang terjadi di daerah. Kekuasaan Negara terhadap tanah belum bekerja untuk kemakmuran rakyat. BPN adalah fungsi administrative dan implementasi kekuasaan pemerintah, bukan implementor kekuasaan Negara terhadap tanah.
Berangkat dari konfilik dan sengketa tanah yang terjadi selama merdeka tetapi akses rakyat terhadap tanah “belum merdeka” atau merdeka tanpa tanah air yang sebenarnya. Perlu dilakukan langkah-langkah taktis dari berbagai pihak terkait (multi stakeholder) dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia, dan yang prioritas adalah meminimalisasi korban, mengoptimalisasi penyelesaian sengketa tanah dan mendudukkan kepada administrative yang tepat dengan payung regulasi yang jelas didukung kelembagaan yang menjalankan penguasaan Tanah Negara kepada Kekuasan Negara demi berjalannya pembangunan dan untuk kemakmuran rakyat (Tuan tanah di negeri sendiri).
Pengelolaan tidak lain tidak bukan :
Identifikasi—-inventarisasi—-pemeliharaan/pengolahan data utk menjadi informasi publik—-pemanfaatan (kemakmuran rakyat).
Apa yang dapat kita harapkan: dari para aktor berbaju uang, aktor berbaju hukum, aktor berbaju politik, aktor berbaju misiu di Indonesia bagi yang tidak ada Kemampuan (rakyat), amanat pendiri Negara tergantung pada pelaksananya, hal ini bermakna dalam yaitu etika/moral/kepatutan/good governance.
contoh singkat: beberapa hari yng lalu antara Kementrian perhubungan dan BUMN PP No.5/2012 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono per 6 Januari. Hal ini bisa terlaksana karena orang no 1 Indonesia turun tangan. Sehingga diharapkan mendongkrak pelayanan kepada masyarakat lebih baik, dan diharapkan berdampak secara makro ekonomi.
contoh ini dapat sebagai ilham, resolusi konflik pertanahan yang berjutujuan pemanfaatan (kemakmuran rakyat).
Mari kita Identifikasi kasus konflik pertanahan yang ada (lebih kurang 2000 kasus seluruh Indonesia) jangan menunggu ada korban rakyat lagi.
Kalau sistem hukum tidak mampu, kalau sistem politik tidak mampu, kalau sistem hankam tidak mampu mencegah korban, masih ada satu sistem “ETIKA” bawah sadar manusia (kodrat suci manusia), yang tidak bisa hidup sendiri (bersosial)—-> ini digunakan oleh para jurnalis membentuk opini anti kekerasan kepada rakyat. Opini pelanggaran etika bagi yang berbuat dll dan mereka akan tereliminir dengan sendirinya di sosial (sanksi sosial kadang lebih berkeadilan).
byk bukti karena dia berbaju duit ; tertawa dan berlenggang di depan hakim
byk bukti karena dia berbaju politik; senyam-senyum berlenggang di depan hakim
byk bukti karena mereka berbaju mesiu; sangar dan berlenggang di di depan mahkamah.
tetapi jangan harap di mata jurnalis, mata rakyat (sosial power) bisa berlenggang seenaknya. sangsi tercampakkan selalu mereka terima (personal, keluarga dan kelompoknya). Ini bukit kekuatan menjunjung Etika/kepatutan/moral.
Mari kita duduk bersama menghindar dari malapetaka itu dengan menyelesaikan secara arif bijaksana (aktor2) dan bijaksini (sosial power: Akademisi, para pemuka rakyat bersama rakyat).
Pengelolaan
Langkah 1: Identifikasi (sudah banyak yang melakukan)
Langkah 2: Inventarisasi, dokumentasi dan pendataan tersistem
Langkah 3: pemeiliharaan, analisis, tesis, anti-tesis, sintesa dari data tersistem —> rekomendasi resolusi konflik sesuai dengan hirarkhi bencana (dampak negatif) dan hirarkhi manfaat (untuk rakyat banyak) dari seluruh klasifikasi data konflik. Resolusi inter aktor terlibat, resolusi antar aktor terlibat (analogi pengalihan aset).
detail langkah terlampir dapat diselesaikan di waktu lain dan didesiminasikan.
Dengan demikian:
Langkah 4: pemanfaatan dengan efisiensi dan efektifitas proporsi dan prioritasnya penanganan konflik pertanahan dapat terurai, sesuaikan target penanganan prioritas pada setiap kasus di daerah yang akan membawa dampak negative terhadap rakyat yang tinggi dan seterusnya.
Demikian sedikit bahan untuk diskusi terkait dengan berbagai hal pertanahan di Indonesia, semoga ke depan lebih baik dan berkeadilan sesuai dengan Kemerdekaan rakyat di segala bidang.
Depok, 18 Maret 2024. Universitas Indonesia (UI) bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) dan PT Luwes…
Depok, 27 Juli 2023. Prof. Dr. Muhammad Dimyati, M.Sc., ditetapkan sebagai Guru Besar Tetap di…
Tim Riset Geografi FMIPA UI yang turut serta dalam kegiatan Ekspedisi Jala Citra 3 di…
Jakarta, 14 Maret 2023Tim Riset Laut Dalam Geografi FMIPA UI, diketuai oleh Dr.Eng. Masita Dwi…
Jakarta, 14 Maret 2023. Mahasiswa Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA…
Olimpiade Nasional Geografi merupakan perlombaan yang terbuka bagi siswa-siswi jenjang SMA/ sederajat dari seluruh Indonesia.…