Temuan “Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana” di daerah

By taqy On Friday, November 16 th, 2012 · no Comments · In

Temuan 4 Provinsi “Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana”

FGD BNPB bekerjasama dengan BPBD dan RSI 2012

Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Indonesia sudah menjadi kesadaran, ketertarikan, kebutuhan dan aksi-aksi di tingkat lokal  kabupaten /Kota, Provinsi dan Nasional. Bahkan di desa-desa di banyak kabupaten /kota sudah mengukuhkan sebagai desa dengan kesiapsiagaan secara mandiri (partisipatif). Budaya preventif baik dengan membentuk keorganisasian di tingkat RT, RW kelurahan dan seterusnya, mempersiapkan prasarana dan sarana yang ditunjang perangkat lunak (rencana kontijensi atau dalam kontek penanganan dijadikan kesiapsiagaan SOP penanganan).

Berbagai komunitas daerah dari mulai LSM, assosiasi bisnis dan jaringan relawan kesiapsiagaan juga sudah memulai terorganisir dalam melakukan pemahaman. Forum-forum diselenggarakan dalam rangka memperkuat baik pada tahap diskusi tentang persepsi kesiapsiagaan penanggulangan bencana, baik dalam pengidentifikasian jenis bencana di masing-masing wilayah permukiman, penyusunan keorganisasian lokal, pelibatan dan pelatihan untuk siswa/guru di sekolah, Ibu rumah tangga yang selalu tinggal di rumah, bahkan sampai para legeslatif  mempersiapkan legalitas kebijakan dalam melandasi semangat kesiapsiagaan bencana.

Di beberapa tempat dapat diambil sebagai tauladan, diantaranya para pelaku bisnis “Catering” membentuk assosiasi yang salah satu programnya yaitu mensinkronkan dengan upaya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana daerahnya. Hal ini merupakan bentuk komitmen assosiasi terhadap konsumennya di daerah tersebut (csr?). Memang secara praktis merekalah yang memiliki prasarana dan sarana dapur dengan stock bahan makanan yang lebih dari komunitas lain. Selain itu juga ada assosiasi perhotelan baik kelas melati maupun hotel berbintang juga melalui assosiasinya dapat menempelkan stiker (TANDA) bahwa hotel tersebut melalui dapur hotelnya yang canggih dan stock bahan makanan lebih dari satu bulan bahkan 2 bulan berjalan, Tanda Segitiga Biru (simbol BNPB/BPBD) menunjukkan bahwa hotel tersebut siap berpartisipasi dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Satu lagi komunitas yang juga boleh diajak berperan aktif yaitu assosiasi developer daerah, hal ini sangat menjadi penting ketika developer yang notabene berbisnis dalam penyiapan property (pemukiman) dengan kesadaran – aksi arsitektural maupun lanskaping-nya sudah didasari dengan kesiapsiagaan bencana daerah wilayah kerjanya. Peran penting ini sangat membantu, sehingga tidak lagi ditemukan perumahan yang selalu terkena banjir, perumahan yang mengalami kekeringan, perumahan yang kesulitan akses ke wilayah pengungsian dll.

Hal lain yang membuat menarik lagi yaitu bahwa komunitas perguruan tinggi juga tidak ketinggalan dengan banyak penelitian yang menunjukkan dukungan kesiapsiagaan, diantaranya upaya penelitian Tanda-tanda alam jika akan terjadi bencana, hal ini sangat mendukung dalam sosialisasi pelibatan kepada masyarakat di wilayah berpotensi bencana.  Penelitian lain diantaranya adalah penelitian demografis, persebaran penduduk menurut strata umur di wilayah potensi bencana yang hasilnya menjadi landasan program kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Piramida penduduk muda (balita-remaja > dibandingkan dewasa dan manula) program kesiapsiagaannya berbeda dengan piramida penduduk tua, begitu juga dominasi jenis kelamin di suatu daerah potensi bencana dengan wanita > laki-laki juga dengan pendekatan kesiapsiagaan berbeda.

Kesiapsiagaan di beberapa daerah juga ada yang masih terlihat lesu, diantara ketika dilontarkan pertanyaan, apakah daerah potensi bencana tersebut masyarakatnya  sudah tahu posisi gudang logistik? mereka tidak tahu sudah ada bangunan gudang atau belum, apalagi isi logistiknya, dilontarkan pertanyaan apakah di potensi bencana tersebut ada sistem peringatan dini? mereka juga menjawab tidak tahu.  Dengan demikian dapat dilakukan atau diprogramkan seperti kita mengambil contoh ketika kita naik pesawat terbang, para pramugari selalu menyampaikan prosedur penggunaan sabuk pengaman, life jacket dan menjelaskan kesiapsiagaan membuka pintu darurat serta memberikan lieflet SOP tersebut yang ada di setiap tempat duduk dan tidak lupa khusus penderita cacat dan balita ada penjelasan khusus. Hal ini dilakukan tidak henti-hentinya oleh seluruh anak kabin pesawat setiap akan take off. Begitu juga diseminasi maupun sosialisasi kesiapsiagaan TIDAK BOLEH BERHENTI, sudah suatu keharusan dan KEWAJIBAN KEMANUSIAAN.

Dapat menjadi gambaran yang lain praktek kesiapsiagaan yang dapat dijadikan contoh yaitu : arsitektural hotel-hotel berbintang selalu dilengkapi pada setiap kamarnya dengan spryer (alat otomatis sebagai alarm dan menyemburkan air jika ada asap di kamar tersebut) atau sarana kesiapsiagaan kejadian kebakaran, meskipun di hotel tersebut menyediakan alat itu atas dasar pertimbangan ekonomis (agar tidak terbakar aset mereka) dibalik itu sebenarnya budaya kesiapsiagaan sudah terbentuk di hotel tersebut yang memberikan nilai tambah kepada penghuni yaitu rasa aman dari kebakaran. Tetapi hotel tersebut tetap menyediakan kamar-kamar untuk para penggemar asap yang kamarnya tetap ada alat tersebut dan ruangan yang untuk bebas merokok.

Sudah banyak bentuk-bentuk budaya kesiapsiagaan di Indonesia yang di setiap daerah potensi bencana berbeda-beda, kalau hal ini terdokumentasi dengan baik dan terinformasikan dengan cepat kepada masyarakat maka upaya kesiapsiagaanpun sangat terbantu. Peran serta seluruh lapisan masyarakat diharapkan terlibat, tidak meninggalkan komunitas design sekalipun. Komunitas ini banyak perperan dalam layanan masyarakat dalam kesiapsiagaan, misalnya dengan design poster  atau media luar ruang di setiap wilayah potensi bencana (sesuai jenis potensi bencananaya) dengan bahasa yang membumi bahasa daerah akan sangat membantu. Komunitas ini juga banyak membantu dalam layanan masyarakat dalam bentuk audio visual dengan menggunakan media elektonik (radio, tv dll).

Pencegahan akan lebih baik dari pada penanganan, pencegahan dapat mengurangi resiko bencana sekecil-kecilnya. Pernyataan ini kadang di jawab dengan sinis  “khan sudah ada teknologi Early Warning System” dengan kalimat lain yaitu ” Khan sudah ada BNPB dan BPBD” pernyataan sinis yang lain ” Itu khan tugas pemerintah”. Dengan pernyataan-pernyataan tersebut semoga kedepan tidak muncul lagi, kesadaran bahwa kesiapsiagaan adalah tugas kemanusiaan adalah hak seluruh manusia bahkan sebagai keharusan. Pelibatan Quadruple Helix (pemerintah, pelaku usaha, akademisi, komunitas) dengan tugas dan fungsi masing-masing dengan bersinergi membagi tugas akan menghasilkan kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang membuahkan hasil yaitu mengurangi resiko bencana dan meminimalisasi korban jiwa dan asset.

Temuan lain yg juga dapat dipertimbangkan yaitu proses pengadaan barang terkait dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Banyak vendor yang menawarkan peralatan teknologi canggih untuk early warning system, sementara masyarakat teknologi Indonesia  belum menunjukkan sikap kritisnya, apakah produk tersebut sudah layak uji di setiap daerah potensi bencana? jarang terdengan vendor bekerjasama dengan akademisi atau yang lain untuk pengujian alat tersebut di  wilayah Indonesia. Sederhananya bahwa alat tersebut layak uji di sub tropis belum tentu maksimal di wilayah tropis di Indonesia, teknologi tersebut layak uji di salinitas tinggi/rendah di negara produsen belum tentu berfungsi maksimal di laut Indonesia. Kendala-kendala ini dapat menjadi perhatian oleh penanggung jawab pengadaan teknologi yang spesifikasi alat sudah layak uji di daerah masing-masing dengan jenis bencana yang berpotensi.  Prosedur pembelian barang ada pengujian peralatan di daerah potensi bencana, bukan hanya di uji di Jakarta. Hal ini banyak merugikan keuangan negara, alat menjadi mubadzir karena kelalaian ini, dan berdampak kesiapsiagaan tidak maksimal.

Wawasan lain yang di dapat diantaranya yaitu  produk RTRW dalam revisinya ke depan dapat disinkronisasi dengan kepentingan tugas kesiapsiagaan penanggulangan bencana, sehingga para konsultan perumus Penataan Ruang sudah menyadari hal tersebut.

Dan masih banyak lagi dan segera di diseminasikan kepada masyarakat luas.

Dengan demikian penyusunan rencan kontijensi secara prosedural mulai dari analisis data potensi bencana – penentuan jenis bencana prioritas kesiapsiagaan (batas waktu berlakunya prioritas tersebut dan tipologi kesiapsiagaan dengan jenis bencana yang berbeda pada setiap daerah) baik sekala provinsi maupun sekala kabupaten/kota, sehingga dapat memberikan penilaian kesenjangan kesiapsiagaan pada setiap daerah. Penentuan Kelas kesenjangan kesiapsiagaan perlu di informasikan kepada masyarakat, hal ini menunjukkan kejujuran wilayah tersebut dalam pelaksanaan kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan sumberdaya manusia, sumberdaya prasarana dan sarana, kelembagaan produk hukum legislasi terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat di wilayah potensi bencana dan kebutuhan pengurangan resiko dari dokumentasi bencana yang pernah terjadi.  Kesenjangan dalam hal ini memberi pengertian perbandingan sumberdaya kesiapsiagaan terhadap kebutuhan kesiapsiagaan.

Temuan-temuan ini didapatkan oleh Taqyuddin ketika sebagai narasumber penyusunan profil kesiapsiagaan penaggulangan bencana di  provinsi Gorontalo, Makassar (provinsi Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku Utara) dan Menado (Sulawesi Utara) yang berlangsung mulai tanggal 5 – 16 November 2012. semoga bermanfaat.

 

About

Admin Taqyuddin

Leave a Reply