Diskusi Publik Format Penyelesaian Konflik Pertanahan di Indonesia

By taqy On Wednesday, February 29 th, 2012 · no Comments · In ,

Diskusi Publik  Format Penyelesaian Konflik Pertanahan di Indonesia

Taqyuddin, staff pengajar di Departemen Geografi FMIPA UI, Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT), Yayasan Buana Katulistiwa, www.bukapeta.com, dalam diskusi terbuka Kaukus Muda Indonesia (KMI), TIM 21 Feb 2012.

A. Latar Belakang

Konflik pertanahan sudah menelan korban ratusan Jiwa manusia, pengrusakan, pertikaian, hingga demo jahit mulut, diam tak berdaya, penyelesaian yang berkeadilan tak kunjung ada. Berbagai Upaya oleh masyarakat, intelektual, pemerintah dan pihak pelaku ekonomi terbentur kebuntuan menemukan kata selesai dan adil. Arena penuntasan berbentuk wadah-wadah penyelesaian berbagai macam; administrative, hukum (yuridis), politik (kekuasaan), premanisme (penyerobotan, pengambilalihan paksa, penggusuran dll).

Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan setelah sekian lama merdeka semenjak rezim-rezim berkuasa di Indonesia; Persiapan Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, bentuk format penanganan pertanahan belum berubah. Apakah tidak belajar dari rezim yang terdahulu ? Apakah ada kebijakan yang salah, apakah ada upaya mengkondisikan seperti ini? Apakah Peraturan hukumnya tidak memadai? Apakah pelaksanaannya hukumnya yang sering terbobol oleh rekayasa pelaku? Apakah ada implementasi hukum yang sebenarnya tidak tepat di Indonesia?  Hal ini semua membuat kita belajar lagi dan belajar lagi.

Menanggapi respon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  menggelar sidang kabinet dengan agenda pembahasan Peraturan Pemerintah Reforma Agraria, Kamis 26 Januari 2012 sebulan yang lalu. KMI mengelar diskusi mencari format  penyelesaian konflik pertanahan di ndonesia ini merupakah langkah positif untuk belajar bersama.

Diskusi ini diharapkan memberi jawaban kepada kita tidak lagi mendengar, melihat dan membaca “masyarakat pertanahan Indonesia bersedih”. Memberi jawaban kepada masyarakat berkemampuan berdaya tawar dan berkemampuan dalam bersandar pada produk hukum (Yudikatif, legislative dan eksekutif) dan berkemampuan bersandar pada sistem politik (partai-partai), dan berkemampuan berlindung dan bersandar kepada petugas pertahanan dan keamanan, dan berkemampuan bersandar pada hukum-hukum adat yang diakui.

Konteks pengelolaan sumberdaya alam (tanah) Indonesia, pertanyaannya untuk apa dan untuk siapa? jawabannya jelas pengelolaan SD alam (tanah) untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk pribadi, sekelompok, komunitas tertentu, inilah nilai sosial tanah.

Permasalahan

  1. Amanat para pendiri negara ; dengan segala bentuk regulasi awal merdeka akan berjalan dengan baik tergantung pelaksananya, dan perkembangan regulasi dan komitmen pelaksanaannya demi bangsa dan Negara?
  2. Bagaimana adaptasi Payung hukum yang ada dan yang berkembang?
  3. Langkah-langkah strategis era reformasi administrative, yudikatif, legislative, dan eksekutif terkait pertanahan?
  4. Bagaimana pengelolaan Tanah Negara meletakkan rakyat Indonesia menjadi tuan tanah di negeri sendiri?

Kupasan permasalahan:

  1. Kondisi awal merdeka bersifat modal dasar Kemerdekaan menuju berbangsa dan bertanah air satu Indonesia, dengan segala keterbatasan termasuk regulasi pertanahan: Peraturan yang berlaku berdasar sistem pemerintah yang dipilih; ada kekuasaan Negara, ada kekuasaan pemerintah implemetasinya Presiden sebagai Pimpinan Negara dan pimpinan pemerintahan, begitu juga semua asset republic Indonesia (wilayah/tanah  jajahan Belanda pada saat itu statusnya adalah dalam konteks di bawah kekuasaan Negara). Pendiri Negara sudah memenuhi syarat dasar  sebuah Negara.
  2. Pola-pola perkembangan produk hukum pertanahan mulai hukum Peninggalan colonial, hukum-hukum adat yang disatukan dalam UUPA, produk hukum orde baru terkait pertanahan produk hukum era reformasi. Produk hukum beragam – penyatuan? – keberagaman yang timpang tindih (UUPA, UU Pertambangan, UU kehutanan, UU TR, UU Otoda dll. Apa yang dijadikan Payung hukum untuk semuanya? Jawabannya belum ada. Tanah Negara diserahkan kepada sektoral. Sebagai bahan pemikiran; Perjalanan implementasi agrarian; sektoral territorial, sektoral dalam negeri, sektoral komoditas pertanian, sektoral administrative. Yang Fenomenal sektoral komoditas hutan merangkap penguasa pertanahan Negara yang tidak/belum disadari semua pihak baik yudikatif, eksekutif, apalagi legislative. Bahan pemikiran lain; Mengapa pada berbagai perencanaan terkait dengan kekuasaan Negara terlaksana dengan baik kerjasama eksekutif dan legislative, tetapi terkait dengan pertanahan belum ada kekuasaan Negara (masih diserahkan kepada kekuasaan pemerintah). Dimana berjalannya kekuasaan Negara untuk mengatur pertanahan (pemerintah bersama legislative dengan payung yang di kawal oleh yudikatif?

Di sisi pemerintah terjadi timpang tindih dan ketidak sinkronan perencanaan terkait dengan akses tanah. Contoh Bapenas sebagai perencana nasional dari berbagai sektor tidak di dukung regulasi penyediaan tanah di atur oleh Negara, tetapi sering terbentur tidak berjalannya rencana karena tanah dikuasai secara dominan oleh salah satu sektoral pemerintah sendiri (64 % tanah pengaturan pengalihannya oleh menteri kehutanan (praktek orde baru yang belum tereformasi). PU merencanakan penataan ruang, Bagaimana bisa berjalan secara nasional ataupun daerah tanah yang ada tidak tersedia, revisi dan revisi yang berjalan sebagai dokumen pencapaiannya sangat minim. Di sektor pertambangan dari mulai proses pangajuan ijin pada luasan tanah explorasi dan tanah yang benar-benar operasional explorasi sangat terjadi pemborosan. Coba telah kebutuhan tanah ijin explorasi (berapa luas) dan praktek exploitasi berapa luas berapa selisih yang terlantar).   Dan masih banyak lagi yang terjadi di daerah. Kekuasaan Negara terhadap tanah belum bekerja untuk kemakmuran rakyat. BPN adalah fungsi administrative dan implementasi kekuasaan pemerintah, bukan implementor kekuasaan Negara terhadap tanah.

  1. Stratgis administrative, yudikatif, legislative, executif
    1. Strategis administrative Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di PT dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
    2. Yudikatif (KY) menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
    3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negaraà sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negaraà saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative –BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa)?
    4. Strategi Pengelolaan tanah berbasis kekuasaan Negara untuk menjadikan rakyat Indonesia melalui wakil rakyat bersama pemerintah menjadi tuan tanah di negeri sendiri.

Berangkat dari konfilik dan sengketa tanah yang terjadi selama merdeka tetapi akses rakyat terhadap tanah “belum merdeka”  atau  merdeka tanpa tanah air yang sebenarnya. Perlu dilakukan langkah-langkah taktis dari berbagai pihak terkait (multi stakeholder) dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia, dan yang prioritas adalah meminimalisasi korban, mengoptimalisasi penyelesaian sengketa tanah dan mendudukkan kepada administrative yang tepat dengan payung regulasi yang jelas didukung kelembagaan yang menjalankan penguasaan Tanah Negara kepada Kekuasan Negara demi berjalannya pembangunan dan untuk kemakmuran rakyat (Tuan tanah di negeri sendiri).

Pengelolaan tidak lain tidak bukan :

Identifikasi—-inventarisasi—-pemeliharaan/pengolahan data utk menjadi informasi publik—-pemanfaatan (kemakmuran rakyat).

Apa yang dapat kita harapkan: dari para aktor berbaju uang, aktor berbaju hukum, aktor berbaju politik, aktor berbaju  misiu di Indonesia bagi yang tidak ada Kemampuan (rakyat), amanat pendiri Negara tergantung pada pelaksananya, hal ini bermakna dalam yaitu etika/moral/kepatutan/good governance.

contoh singkat: beberapa hari yng lalu antara Kementrian perhubungan dan BUMN PP No.5/2012 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono per 6 Januari. Hal ini bisa terlaksana karena orang no 1 Indonesia turun tangan. Sehingga diharapkan mendongkrak pelayanan kepada masyarakat lebih baik, dan diharapkan berdampak secara makro ekonomi.

contoh ini dapat sebagai ilham, resolusi konflik pertanahan yang berjutujuan pemanfaatan (kemakmuran rakyat).

Mari kita Identifikasi kasus konflik pertanahan yang ada (lebih kurang 2000 kasus seluruh Indonesia) jangan menunggu ada korban rakyat lagi.

Kalau sistem hukum tidak mampu, kalau sistem politik tidak mampu, kalau sistem hankam tidak mampu mencegah korban, masih ada satu sistem “ETIKA” bawah sadar manusia (kodrat suci manusia), yang tidak bisa hidup sendiri (bersosial)—-> ini digunakan oleh para jurnalis membentuk opini anti kekerasan kepada rakyat. Opini pelanggaran etika bagi yang berbuat dll dan mereka akan tereliminir dengan sendirinya di sosial (sanksi sosial kadang lebih berkeadilan).

byk bukti karena dia berbaju duit ; tertawa dan berlenggang di depan hakim

byk bukti karena dia berbaju politik; senyam-senyum berlenggang di depan hakim

byk bukti karena mereka berbaju mesiu; sangar dan berlenggang di di depan mahkamah.

tetapi jangan harap di mata jurnalis, mata rakyat (sosial power) bisa berlenggang seenaknya. sangsi tercampakkan selalu mereka terima (personal, keluarga dan kelompoknya). Ini bukit kekuatan menjunjung Etika/kepatutan/moral.

Mari kita duduk bersama menghindar dari malapetaka itu dengan menyelesaikan secara arif bijaksana (aktor2) dan bijaksini (sosial power: Akademisi, para pemuka rakyat bersama rakyat).

Pengelolaan

Langkah 1: Identifikasi (sudah banyak yang melakukan)

Langkah 2: Inventarisasi, dokumentasi dan pendataan tersistem

Langkah 3: pemeiliharaan, analisis, tesis, anti-tesis, sintesa dari data tersistem —> rekomendasi resolusi konflik sesuai dengan hirarkhi bencana (dampak negatif) dan hirarkhi manfaat (untuk rakyat banyak) dari seluruh klasifikasi data konflik. Resolusi inter aktor terlibat, resolusi antar aktor terlibat (analogi pengalihan aset).

detail langkah terlampir dapat diselesaikan di waktu lain dan didesiminasikan.

Dengan demikian:

Langkah 4: pemanfaatan dengan efisiensi dan efektifitas proporsi dan prioritasnya penanganan konflik pertanahan dapat terurai, sesuaikan target penanganan prioritas pada setiap kasus di daerah yang akan membawa dampak negative terhadap rakyat  yang tinggi dan seterusnya.

Demikian sedikit bahan untuk diskusi terkait dengan berbagai hal pertanahan di Indonesia, semoga ke depan  lebih baik dan berkeadilan sesuai dengan Kemerdekaan rakyat di segala bidang.

About

Admin Taqyuddin